Batik Sasambo Lombok Tengah |
NTB tidak hanya memiliki produksi tenun tradisional,
seperti tenunan khas Sukarara, Lombok Tengah, Pringgasela Lombok Timur, Kre
Alang Sumbawa atau Ngoli dari Bima dan Dompu, tapi juga memiliki batik. Meski
batik identik sebagai produksi dari Jawa, NTB memiliki batik Sasambo.
KATA
Sasambo merupakan gabungan tiga etnis yang mendiami bumi NTB
– Sasak di Lombok, Samawa di Sumbawa,
termasuk
Mbojo di Bima dan Dompu. Ketiga Suku ini bersatu dalam hal kerajinan tangan tradisional dan dibuatlah batik Sasambo sebagai medianya.
Untuk motif, batik Sasambo
ini mengusung adat dan budaya lokal NTB. Ada
motif ”Kelotok Sapi” atau gantungan kayu kotak berbunyi yang biasa diikat di
leher Sapi khas peternak Lombok, ada motif kangkung yang menggambarkan makanan
khas Lombok, ada motif cabai atau Lombok, mutiara dan gerabah. Ada juga motif rumah panggung yang
mewakili rumah adat di pulau Sumbawa. Kemudian
motif lumbung Raja
Bima, kerang, daun pepaya, daun bebele (semacam pegagan), serta tokek yang
merupakan hewan keberuntungan di Lombok. Batik dari masing-masing daerah pun dapat dibedakan dari corak dan warna
yang dihasilkan.
Salah
satu perajin batik Sasambo yaitu Samsir, pemilik Sasambo Rembitan Sasak mengaku mulai menggeluti usaha batik sejak tahun 1991,
tetapi fokus ke batik Sasambo sejak 2010. Batik Sasambo yang dibuatnya lebih
banyak terinspirasi oleh kearifan lokal Sasak, seperti lumbung padi,
tumbuh-tumbuhan, bunga, dan topeng Sasak.
“Ada motif khas yang saya buat, tidak ada di tempat lain seperti putri nyale,
kerang mutiara, kangkung, orang nyesek, dan ngerok
(rumput sayur), “ tuturnya pada Ekbis NTB, Senin (22/8/2016).
Ide
motif tersebut dibuatnya sendiri dan dikerjakan oleh pegawainya yang berjumlah
15 orang. Ia menjual batik Sasambo per potongnya dari
harga Rp 130 ribu – Rp 400 ribu. Pembelinya berasal dari seluruh Indonesia dan
wisatawan mancanegara yang berkunjung ke galerinya. “Kalau yang lokal sukanya suka motif lumbung, yang warnanya
terang. Kalau wisatawan mancanegara suka motif yang antik
dan warnanya kalem,” tukasnya.
Walaupun
usahanya berjalan lancar, Samsir mengeluhkan daya beli konsumen yang belum
stabil. Ia menambahkan dulu ada imbauan dari pemerintah daerah untuk instansi
menggunakan produk lokal seperti batik Sasambo, tapi tidak berjalan semestinya.
Menurutnya,
perhatian pemerintah terhadap batik Sasambo sudah ada tapi dalam bentuk bantuan
alat dan magang belajar batik ke daerah lain. Tetapi ia mengeluhkan tentang tidak
adanya bantuan untuk bahan baku produknya. Hal ini membuat produknya sulit untuk
dijual karena bahan baku yang harus beli di luar,
sehingga menyebabkan kalah saing dengan produk luar. “Bahan baku kita beli di
Jawa, itu kan harus beli banyak. Belum lagi harga kargonya, biaya kirimnya.
Kalau tidak di sana, paling
dekat beli di Cakra, itu saja belinya dijatah karena permintaan banyak tetapi
barangnya sedikit,“ keluhnya.
Ia
juga terkendala dalam hal tenaga kerja, konsumen dan persaingan dengan produk
sejenis dari luar. “Kalau tenaga kerja ini, kalau tidak dibentuk nanti pas ada
banyak pesanan, kita keteteran. Tapi kalau pesanan sedikit, kita mau apakan
mereka. Terus konsumen ini belum 100% mau menggunakan produk lokal, tidak
peduli dengan income daerah jika mereka beli produk kita. Justru sukanya produk
luar karena harganya lebih murah,” jelasnya.
Samsir menunjukkan
salah satu kain yang dibelinya yang menjiplak motif karyanya. “Ini saya beli Rp
75 ribu di pasar. Ini batik printing
yang pakai mesin. Mereka bisa cetak banyak makanya
harganya murah,” jelasnya. Hal inilah yang menjadi tantangan produknya karena
harus bersaing dengan produk luar yang dijual murah.
Ke
depannya, ia berharap pemerintah dapat memfasilitasi untuk membuat organisasi
atau koperasi atau pabrik sendiri untuk membuat dan menjual bahan baku yang
dibutuhkan perajin sepertinya.
Sementara
pengusaha batik sasambo lainnya, Usman Jayadi, mengatakan batik Sasambo kurang
dikenal oleh masyarakat lokal sendiri. “Konsumen lebih terhipnotis dengan kain
motif batik produk luar, karena harganya
murah,” tukasnya.
Ia
juga menambahkan jika perhatian pemerintah yang didapatnya kurang, padahal
sudah ada surat imbauan untuk menggunakan produk lokal tetapi hanya imbauan, sehingga kantor dinas masih sedikit yang memesan. “Padahal kalau ada perhatian pemerintah, dulu
saya bisa dapat Rp 30 juta sebulan. Tetapi sekarang terjadi penurunan drastis
penjualan,” kata Usman. Hal ini juga berdampak pada jumlah tenaga kerja yang
dipekerjakannya. “Dulu tahun 2011 ada 12 orang pekerja. Tetapi sekarang hanya
ada 4 orang,” jawabnya.
Sama
seperti Samsir, Usman juga mempersoalkan ketiadaan bahan baku yang tidak
tersedia dan harus memesan ke Pulau Jawa jika membutuhkan. Ia juga menyoal
masalah sumber daya manusia yang
kurang untuk membatik. Ia harus mendidiknya dulu selama 2 bulan baru tenaga
kerja tersebut bisa membatik.
Harapannya
ke depan, batik Sasambo dapat
menjadi pakaian resmi untuk acara-acara tertentu (formal) di daerah. Juga
pemerintah dapat membantu mempromosikan dan berkomitmen mengembangkan batik
Sasambo.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Perindustrian dan
Perdagangan (Disperindag) NTB Ir. Hj. Budi Septiani berusaha menjembatani
keinginan para perajin. Meski batik Sasambo, bukan salah satu prioritas yang
dikembangkan tidak berarti pihaknya tinggal diam. Pihaknya berusaha memenuhi
apa yang menjadi keinginan perajin.
Sekarang
ini, pihaknya lebih condong pada tenun dan songket yang sudah namanya mendunia
tanpa melupakan sektor lainnya. ‘’Sedang dibuat kluster-kluster untuk
pengembangan masing-masing industri,’’ jawabnya pendek.
0 komentar:
Post a Comment