Friday, September 2, 2016

Batik Sasambo Terjebak Bahan Baku dan Minimnya Perhatian Pemerintah

Batik Sasambo Lombok Tengah

NTB tidak hanya memiliki produksi tenun tradisional, seperti tenunan khas Sukarara, Lombok Tengah, Pringgasela Lombok Timur, Kre Alang Sumbawa atau Ngoli dari Bima dan Dompu, tapi juga memiliki batik. Meski batik identik sebagai produksi dari Jawa, NTB memiliki batik Sasambo.
KATA Sasambo merupakan gabungan tiga etnis yang mendiami bumi NTB – Sasak di Lombok, Samawa di Sumbawa, termasuk  Mbojo di Bima dan Dompu. Ketiga Suku ini bersatu dalam hal kerajinan tangan tradisional dan dibuatlah batik Sasambo sebagai medianya.
Untuk motif, batik Sasambo ini mengusung adat dan budaya lokal NTB. Ada motif ”Kelotok Sapi” atau gantungan kayu kotak berbunyi yang biasa diikat di leher Sapi khas peternak Lombok, ada motif kangkung yang menggambarkan makanan khas Lombok, ada motif cabai atau Lombok, mutiara dan gerabah. Ada juga motif rumah panggung yang mewakili rumah adat di pulau Sumbawa. Kemudian motif lumbung Raja Bima, kerang, daun pepaya, daun bebele (semacam pegagan), serta tokek yang merupakan hewan keberuntungan di Lombok. Batik dari masing-masing daerah pun dapat dibedakan dari corak dan warna yang dihasilkan.
Salah satu perajin batik Sasambo yaitu Samsir, pemilik Sasambo Rembitan Sasak mengaku mulai menggeluti usaha batik sejak tahun 1991, tetapi fokus ke batik Sasambo sejak 2010. Batik Sasambo yang dibuatnya lebih banyak terinspirasi oleh kearifan lokal Sasak, seperti lumbung padi, tumbuh-tumbuhan, bunga, dan topeng Sasak. “Ada motif khas yang saya buat, tidak ada di tempat lain seperti putri nyale, kerang mutiara, kangkung, orang nyesek, dan ngerok (rumput sayur), “ tuturnya pada Ekbis NTB, Senin (22/8/2016).

Ide motif tersebut dibuatnya sendiri dan dikerjakan oleh pegawainya yang berjumlah 15 orang.  Ia menjual batik Sasambo per potongnya dari harga Rp 130 ribu – Rp 400 ribu. Pembelinya berasal dari seluruh Indonesia dan wisatawan mancanegara yang berkunjung ke galerinya. “Kalau yang lokal sukanya suka motif lumbung, yang warnanya terang. Kalau wisatawan mancanegara suka motif yang antik dan warnanya kalem,” tukasnya.
Walaupun usahanya berjalan lancar, Samsir mengeluhkan daya beli konsumen yang belum stabil. Ia menambahkan dulu ada imbauan dari pemerintah daerah untuk instansi menggunakan produk lokal seperti batik Sasambo, tapi tidak berjalan semestinya.
Menurutnya, perhatian pemerintah terhadap batik Sasambo sudah ada tapi dalam bentuk bantuan alat dan magang belajar batik ke daerah lain. Tetapi ia mengeluhkan tentang tidak adanya bantuan untuk bahan baku produknya. Hal ini membuat produknya sulit untuk dijual karena bahan baku yang harus beli di luar, sehingga menyebabkan kalah saing dengan produk luar. “Bahan baku kita beli di Jawa, itu kan harus beli banyak. Belum lagi harga kargonya, biaya kirimnya. Kalau tidak di sana, paling dekat beli di Cakra, itu saja belinya dijatah karena permintaan banyak tetapi barangnya sedikit,“ keluhnya.
Ia juga terkendala dalam hal tenaga kerja, konsumen dan persaingan dengan produk sejenis dari luar. “Kalau tenaga kerja ini, kalau tidak dibentuk nanti pas ada banyak pesanan, kita keteteran. Tapi kalau pesanan sedikit, kita mau apakan mereka. Terus konsumen ini belum 100% mau menggunakan produk lokal, tidak peduli dengan income daerah jika mereka beli produk kita. Justru sukanya produk luar karena harganya lebih murah,” jelasnya.
Samsir menunjukkan salah satu kain yang dibelinya yang menjiplak motif karyanya. “Ini saya beli Rp 75 ribu di pasar. Ini batik printing yang pakai mesin. Mereka bisa cetak banyak makanya harganya murah,” jelasnya. Hal inilah yang menjadi tantangan produknya karena harus bersaing dengan produk luar yang dijual murah.
Ke depannya, ia berharap pemerintah dapat memfasilitasi untuk membuat organisasi atau koperasi atau pabrik sendiri untuk membuat dan menjual bahan baku yang dibutuhkan perajin sepertinya.
Sementara pengusaha batik sasambo lainnya, Usman Jayadi, mengatakan batik Sasambo kurang dikenal oleh masyarakat lokal sendiri. “Konsumen lebih terhipnotis dengan kain motif batik produk luar, karena harganya murah,” tukasnya. 
Ia juga menambahkan jika perhatian pemerintah yang didapatnya kurang, padahal sudah ada surat imbauan untuk menggunakan produk lokal tetapi hanya imbauan, sehingga kantor dinas masih sedikit yang memesan. “Padahal kalau ada perhatian pemerintah, dulu saya bisa dapat Rp 30 juta sebulan. Tetapi sekarang terjadi penurunan drastis penjualan,” kata Usman. Hal ini juga berdampak pada jumlah tenaga kerja yang dipekerjakannya. “Dulu tahun 2011 ada 12 orang pekerja. Tetapi sekarang hanya ada 4 orang,” jawabnya.
Sama seperti Samsir, Usman juga mempersoalkan ketiadaan bahan baku yang tidak tersedia dan harus memesan ke Pulau Jawa jika membutuhkan. Ia juga menyoal masalah sumber daya manusia yang kurang untuk membatik. Ia harus mendidiknya dulu selama 2 bulan baru tenaga kerja tersebut bisa membatik.
Harapannya ke depan, batik Sasambo dapat menjadi pakaian resmi untuk acara-acara tertentu (formal) di daerah. Juga pemerintah dapat membantu mempromosikan dan berkomitmen mengembangkan batik Sasambo.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) NTB Ir. Hj. Budi Septiani berusaha menjembatani keinginan para perajin. Meski batik Sasambo, bukan salah satu prioritas yang dikembangkan tidak berarti pihaknya tinggal diam. Pihaknya berusaha memenuhi apa yang menjadi keinginan perajin.
Sekarang ini, pihaknya lebih condong pada tenun dan songket yang sudah namanya mendunia tanpa melupakan sektor lainnya. ‘’Sedang dibuat kluster-kluster untuk pengembangan masing-masing industri,’’ jawabnya pendek. 
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Definition List